Kebudayaan Jawa Barat
1IA21
Disusun Oleh
Alfath Zaid 50413640
Arya Adam 51413410
Andrianto Ramadhan 50413961
Dede utomo 52413113
Febriansyah Ramadan 53413369
Hafes Ibrahim 53413824
Alfath Zaid 50413640
Arya Adam 51413410
Andrianto Ramadhan 50413961
Dede utomo 52413113
Febriansyah Ramadan 53413369
Hafes Ibrahim 53413824
UNIVERSITAS GUNADARMA
2014
A.
Jawa Barat
Jawa
Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika
Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi
itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia
Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan
istilahSoendalanden (Tanah Sunda) atau Pasundan, sebagai istilah geografi untuk
menyebut Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian
besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
B. Penduduk
Jawa Barat
merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Kerana
letaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh suku bangsa
yang ada di Indonesia terdapat di provinsi ini. 65% penduduk Jawa Barat adalah
Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini. Suku lainnya adalah Suku
Jawa yang banyak dijumpai di daerah bagian utara Jawa Barat, Suku Betawi banyak
mendiami daerah bagian barat yang bersempadan dengan Jakarta.Suku Minang dan
Suku Batak banyak mendiami Kota-kota besar di Jawa Barat, seperti
Bandung,Cimahi, Bogor, Bekasi, dan Depok. Sementara itu Orang Tionghoa banyak
dijumpai hampir di seluruh daerah Jawa Barat.
C. Agama
Mayoritas
penduduk di Jawa Barat memeluk agama Islam (97%). Selain itu provinsi Jawa
Barat memiliki bandar-bandar yang menerapkan syariat Islam, seperti Cianjur,
Kabupaten Tasik Malaya, serta Kota Tasikmalaya diperlakukan kepada sebahagian
besar warganya yang menganut agama Islam. Agama Kristian banyak pula terdapat
di Jawa Barat, terutama dianut oleh Orang Tionghoa dan sebahagian Orang Batak.
Agama minoriti lainnya yang terdapat di Provinsi Jawa Barat adalah Buddha,
Hindu dan Konfusianisme.
D. SENI DAN BUDAYA JAWA BARAT
1.
Seni
Karawitan
A. Alat
Musik Angklung
Angklung
merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang dibuat dari bambu dan
merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia. Dulunya, angklung memegang
bagian penting dari aktivitas upacara tertentu, khususnya pada musim panen.
Suara angklung dipercaya akan mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci)
yang akan membawa kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan
memberikan kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Macam-macam
Angklung
ü Angklung
Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering
menyebut mereka Badui) digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara
padi, bukan semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh ketika
orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun),
terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu,
yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski demikian, angklung masih bisa ditampilkan
di luar ritus padi dan tetap memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh
hingga masa ngubaran pare (mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak
ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak
boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya.
Menutup angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung,
yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya
diadakan saat terang bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan
(halaman luas di pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain:
“Lutung Kasarung”, “Yandu Bibi”, “Yandu Sala”, “Ceuk Arileu”, “Oray-orayan”,
“Dengdang”, “Yari Gandang”, “Oyong-oyong Bangkong”, “Badan Kula”,
“Kokoloyoran”, “Ayun-ayunan”, “Pileuleuyan”, “Gandrung Manggu”, “Rujak Gadung”,
“Mulung Muncang”, “Giler”, “Ngaranggeong”, “Aceukna”, “Marengo”, “Salak
Sadapur”, “Rangda Ngendong”, “Celementre”, “Keupat Reundang”, “Papacangan”, dan
“Culadi Dengdang”.
Para penabuh angklung sebanyak delapan
orang dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil
berjalan dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage
(menari) dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya
dilakukan hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam,
mereka dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan, tabu),
tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata
dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang
terbesar adalah: indung, ringkung, dongdong,gunjing, engklok, indung leutik,
torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh
seorang. Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan
ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung
Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di Kajeroan, kampung
Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan,
Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung
adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga kampung,
yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang
bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya
di samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang
terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran
membeli dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
ü Angklung
Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di
masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang
tersebar di sekitar Gunung Halimun (berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan
Lebak). Meski kesenian ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu
instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya
dengan acara ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat
mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taundi pusat kampung adat. Pusat kampung
adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu
berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada
masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih
memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para
pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam baresan pangawinan (prajurit
bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka
akan pengaruh modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa
dinikmatinya. Sikap ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang
sejak sekitar tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu
digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan
lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian
dogdog lojor adalah dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar.
Keempat buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian
panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan oleh seorang, sehingga
semuanya berjumlah enam orang. Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: “Bale
Agung”, “Samping Hideung”, “Oleng-oleng Papanganten”, “Si Tunggul Kawung”,
“Adulilang”, dan “Adu-aduan”. Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog
dan angklung cenderung tetap.
ü Angklung
Gubrag
Angklung gubrag terdapat di Kampung
Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan
digunakan untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi),
ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit
(lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung
Cipining mengalami musim paceklik.
ü Angklung
Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang
menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama.
Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi
sebagai hiburan untuk kepentingan dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan
masyarakat sejak lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang
berhubungan dengan ritual penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng
dipercaya berkembang sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau
ke-17. Pada masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam
ke Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama
Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan
kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak
sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu angklung kecer, empat angklung
indung dan angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog, dua buah terbang
atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang
bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya sekarang digunakan pula
bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik,
serta menurut keperluan acara. Dalam pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu,
disajikan pula atraksi kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: “Lailahaileloh”, “Ya’ti”, “Kasreng”, “Yautike”,
“Lilimbungan”, dan “Solaloh”.
2.
Seni
Pertunjukan Buncis
Buncis
merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di
Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis
digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin berubahnya
pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal berbau kepercayaan
lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya fungsi ritual buncis
dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah menjadi pertunjukan
hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit, lumbung)
mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung
yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak
yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian kesenian
buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acarangunjal (membawa padi) tidak
diperlukan lagi.
Nama
kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat,
yaitu “cis kacang buncis nyengcle …”. Teks tersebut terdapat dalam kesenian
buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen
yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua angklung ambrug,
satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu angklung enclok, tiga buah
dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan satu badublag). Dalam
perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek, dan goong. Angklung
buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras madenda atau degung.
Lagu-lagu buncis di antaranya: “Badud”, “Buncis”, “Renggong”, “Senggot”,
“Jalantir”, “Jangjalik”, “Ela-ela”, “Mega Beureum”. Sekarang lagu-lagu buncis
telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya
laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari
beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah beberapa
contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung buncis
(Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko
(Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul (Banten), angklung dog
dog lojor (Sukabumi), angklung badeng (Malangbong, Garut), dan angklung padaeng
yang identik dengan angklung nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan
sejak tahun 1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan
angklung Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh
Daeng Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada
Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara
orkestra besar.
3.
Wayang
Golek
Wayang
Golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam
suatu cerita pewayangan. Dimainkan oleh seorang Dalang yang menguasai berbagai
karakter maupun suara tokoh yang dimainkan. Wayang golek sangat digemari oleh
masyarakat Sunda khususnya. Lazimnya wayang golek dipergelarkan pada malam hari
sampai dini hari.
4.
Rampak
Kendang
Kendang
adalah salah satu instrumen musik tradional yang dimainkan bersama-sama
instrumen lainnya, sehingga dapat menciptakan musik yang harmonis. Perkembangan
selanjutnya, kendang tidak saja dimainkan dengan berbagai instrumen lainnya,
tapi dimainkan secara tunggal dalam arti satu jenis instrumen musik, namun
dimainkan dalam jumlah banyak dan menciptakan suatu irama tersendiri.
B.
Seni Tari
1.
Tari
jaipong
Sebelum
bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi
bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan
pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan
tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan
tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara
gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang
mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu
dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun
1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh
unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah
kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya
yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai
cerminan kerakyatan.
Seiring
dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang
berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih
perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa
Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan
sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya
mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam
pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya
di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam
Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola
tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar
penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain
dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak
Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada
awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu
merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih
sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun
iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.
2.
Ketuk
tilu
v Upacara Adat Jawa Barat
Adat
istiadat yang diwariskan leluhurnya pada masyarakat Sunda masih dipelihara dan
dihormati. Dalam daur hidup manusia dikenal upacara-upacara yang bersifat
ritual adat seperti: upacara adat Masa Kehamilan, Masa Kelahiran, Masa
Anak-anak, Perkawinan, Kematian dll. Demikian juga dalam kegiatan pertanian dan
keagamaan dikenal upacara adat yang unik dan menarik. Itu semua ditujukan
sebagai ungkapan rasa syukur dan mohon kesejahteraan dan keselamatan lahir
bathin dunia dan akhirat. Beberapa kegiatan upacara adat di Jawa Barat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
UPACARA
DAUR HIDUP MANUSIA
A.
Upacara
Adat Masa Kehamilan
1.
Upacara Mengandung
Empat Bulan
Dulu
Masyarakat Jawa Barat apabila seorang perempuan baru mengandung 2 atau 3 bulan
belum disebut hamil, masih disebut mengidam. Setelah lewat 3 bulan barulah
disebut hamil. Upacara mengandung Tiga Bulan dan Lima Bulan dilakukan sebagai
pemberitahuan kepada tetangga dan kerabat bahwa perempuan itu sudah betul-betul
hamil. Namun sekarang kecenderungan orang-orang melaksanakan upacara pada saat
kehamilan menginjak empat bulan, karena pada usia kehamilan empat bulan itulah
saat ditiupkannya roh pada jabang bayi oleh Allah SWT. Biasanya pelaksanaan
upacara Mengandung empat Bulan ini mengundang pengajian untuk membacakan do’a
selamat, biasanya doa nurbuat dan doa lainnya agar bayinya mulus, sempurna,
sehat, dan selamat.
2.
Upacara Mengandung
Tujuh Bulan
Upacara
Tingkeban adalah upacara yang diselenggarakan pada saat seorang ibu mengandung
7 bulan. Hal itu dilaksanakan agar bayi yang di dalam kandungan dan ibu yang
melahirkan akan selamat. Tingkeban berasal dari kata tingkeb artinya tutup,
maksudnya si ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh bercampur
dengan suaminya sampai empat puluh hari sesudah persalinan, dan jangan bekerja
terlalu berat karena bayi yang dikandung sudah besar, hal ini untuk menghindari
dari sesuatu yang tidak diinginkan. Di dalam upacara ini biasa diadakan
pengajian biasanya membaca ayat-ayat Al-Quran surat Yusuf, surat Lukman dan
surat Maryam.
Di
samping itu dipersiapkan pula peralatan untuk upacara memandikan ibu hamil ,
dan yang utama adalah rujak kanistren yang terdiri dari 7 macam buah-buahan.
Ibu yang sedang hamil tadi dimandikan oleh 7 orang keluarga dekat yang dipimpin
seorang paraji secara bergantian dengan menggunakan 7 lembar kain batik yang
dipakai bergantian setiap guyuran dan dimandikan dengan air kembang 7 rupa.
Pada guyuran ketujuh dimasukan belut sampai mengena pada perut si ibu hamil,
hal ini dimaksudkan agar bayi yang akan dilahirkan dapat berjalan lancar (licin
seperti belut). Bersamaan dengan jatuhnya belut, kelapa gading yang telah
digambari tokoh wayang oleh suaminya dibelah dengan golok. Hal ini dimaksudkan
agar bayi yang dikandung dan orang tuanya dapat berbuat baik lahir dan batin,
seperti keadaan kelapa gading warnanya elok, bila dibelah airnya bersih dan
manis. Itulah perumpamaan yang diharapkan bagi bayi yang dikandung supaya
mendapatkan keselamatan dunia-akhirat.
Sesudah
selesai dimandikan biasanya ibu hamil didandani dibawa menuju ke tempat rujak
kanistren tadi yang sudah dipersiapkan. Kemudian sang ibu menjual rujak itu
kepada anak-anak dan para tamu yang hadir dalam upacara itu, dan mereka
membelinya dengan menggunakan talawengkar, yaitu genteng yang sudah dibentuk
bundar seperti koin. Sementara si ibu hamil menjual rujak, suaminya membuang
sisa peralatan mandi seperti air sisa dalam jajambaran, belut, bunga, dsb.
Semuanya itu harus dibuang di jalan simpang empat atau simpang tiga. Setelah
rujak kanistren habis terjual selesailah serangkaian upacara adat tingkeban.
3.
Upacara Mengandung
Sembilan Bulan
Upacara
sembuilan bulan dilaksanakan setelah usia kandungan masuk sembilan bulan. Dalam
upacara ini diadakan pengajian dengan maksud agar bayi yang dikandung cepat
lahir dengan selamat karena sudah waktunya lahir. Dalam upacara ini dibuar
bubur lolos, sebagai simbul dari upacara ini yaitu supaya mendapat kemudahan
waktu melahirkan, lolos. Bubur lolos ini biasanya dibagikan beserta nasi
tumpeng atau makanan lainnya.
4.
Upacara Reuneuh
Mundingeun
Upacara
Reuneuh Mundingeun dilaksanakan apabila perempuan yang mengandung lebih dari
sembilan bulan,bahkan ada yang sampai 12 bulan tetapi belum melahirkan juga,
perempuan yang hamil itu disebut Reuneuh Mundingeun, seperti munding atau
kerbau yang bunting. Upacara ini diselenggarakan agar perempuan yang hamil tua
itu segera melahirkan jangan seperti kerbau, dan agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan. Pada pelaksanaannya leher perempuan itu dikalungi kolotok
dan dituntun oleh indung beurang sambil membaca doa dibawa ke kandang kerbau.
Kalau tidak ada kandang kerbau, cukup dengan mengelilingi rumah sebanyak tujuh
kali. Perempuan yang hamil itu harus berbuat seperti kerbau dan menirukan bunyi
kerbau sambil dituntun dan diiringkan oleh anak-anak yang memegang cambuk.
Setelah mengelilingi kandang kerbau atau rumah, kemudian oleh indung beurang
dimandikan dan disuruh masuk ke dalam rumah. Di kota pelaksanaan upacara ini
sudah jarang dilaksanakan.
B.
Upacara
Kelahiran dan Masa Bayi
1.
Upacara Memelihara
Tembuni
Tembuni/placenta
dipandang sebagai saudara bayi karena itu tidak boleh dibuang sembarangan,
tetapi harus diadakan upacara waktu menguburnya atau menghanyutkannya ke
sungai. Bersamaan dengan bayi dilahirkan, tembuni (placenta) yang keluar
biasanya dirawat dibersihkan dan dimasukan ke dalam pendil dicampuri
bumbu-bumbu garam, asam dan gula merah lalu ditutup memakai kain putih yang
telah diberi udara melalui bambu kecil (elekan). Pendil diemban dengan kain
panjang dan dipayungi, biasanya oleh seorang paraji untuk dikuburkan di halaman
rumah atau dekat rumah. Ada juga yang dihanyutkan ke sungai secara adat.
Upacara
penguburan tembuni disertai pembacaan doa selamat dan menyampaikan hadiah atau
tawasulan kepada Syeh Abdulkadir Jaelani dan ahli kubur. Di dekat kuburan
tembuni itu dinyalakan cempor/pelita sampai tali pusat bayi lepas dari
perutnya.. Upacara pemeliharaan tembuni dimaksudkan agar bayi itu selamat dan
kelak menjadi orang yang berbahagia.
2.
Upacara Nenjrag Bumi
Upacara
Nenjrag Bumi ialah upacara memukulkan alu ke bumi sebanyak tujuh kali di dekat
bayi, atau cara lain yaitu bayi dibaringkan di atas pelupuh (lantai dari bambo
yang dibelah-belah ), kemudian indung beurang menghentakkan kakinya ke pelupuh
di dekat bayi. Maksud dan tujuan dari upacara ini ialah agar bayi kelak menjadi
anak yang tidak lekas terkejut atau takut jika mendengar bunyi yang tiba-tiba
dan menakutkan.
3.
Upacara Puput Puseur
Setelah
bayi terlepas dari tali pusatnya, biasanya diadakan selamatan. Tali pusat yang
sudah lepas itu oleh indung beurang dimasukkan ke dalam kanjut kundang .
Seterusnya pusar bayi ditutup dengan uang logam/benggol yang telah dibungkus
kasa atau kapas dan diikatkan pada perut bayi, maksudnya agar pusat bayi tidak
dosol, menonjol ke luar. Ada juga pada saat upacara ini dilaksanakan sekaligus
dengan pemberian nama bayi. Pada upacara ini dibacakan doa selamat, dan
disediakan bubur merah bubur putih. Ada kepercayaan bahwa tali pusat (tali
ari-ari) termasuk saudara bayi juga yang harus dipelihara dengan
sungguh-sungguh. Adapun saudara bayi yang tiga lagi ialah tembuni, pembungkus,
dan kakawah. Tali ari, tembuni, pembungkus, dan kakawah biasa disebut dulur
opat kalima pancer, yaitu empat bersaudara dan kelimanya sebagai pusatnya ialah
bayi itu. Kesemuanya itu harus dipelihara dengan baik agar bayi itu kelak
setelah dewasa dapat hidup rukun dengan saudara-saudaranya (kakak dan adiknya)
sehingga tercapailah kebahagiaan.
4.
Upacara Ekah
Sebetulnya
kata ekah berasal dari bahasa Arab, dari kata aqiqatun “anak kandung”. Upacara
Ekah ialah upacara menebus jiwa anak sebagai pemberian Tuhan, atau ungkapan
rasa syukur telah dikaruniai anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mengharapkan
anak itu kelak menjadi orang yang saleh yang dapat menolong kedua orang tuanya
nanti di alam akhirat. Pada pelaksanaan upacara ini biasanya diselenggarakan
setelah bayi berusia 7 hari, atau 14 hari, dan boleh juga setelah 21 hari.
Perlengkapan yangb harus disediakan adalah domba atau kambing untuk disembelih,
jika anak laki-laki dombanya harus dua (kecuali bagi yang tidak mampu cukup
seekor), dan jika anak perempuan hanya seekor saja. Domba yang akan disembelih
untuk upacara Ekah itu harus yang baik, yang memenuhi syarat untuk kurban.
Selanjutnya domba itu disembelih oleh ahlinya atau Ajengan dengan pembacaan doa
selamat, setelah itu dimasak dan dibagikan kepada handai tolan.
5.
Upacara Nurunkeun
Upacara
Nurunkeun ialah upacara pertama kali bayi dibawa ke halaman rumah, maksudnya
mengenal lingkungan dan sebagai pemberitahuan kepada tetangga bahwa bayi itu
sudah dapat digendong dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Upacara Nurun
keun dilaksanakan setelah tujuh hari upacara Puput Puseur. Pada pelaksanaannya
biasa diadakan pengajian untuk keselamatan dan sebagai hiburannya diadakan
pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi aneka makanan, permainan anak-anak
yang diletakan di ruang tamu. Untuyk diperebutkan oleh para tamu terutama oleh
anak-anak.
6.
Upacara
Cukuran/Marhabaan
Upacara
cukuran dimaksudkan untuk membersihkan atau menyucikan rambut bayi dari segala
macam najis. Upacara cukuran atau marhabaan juga merupakan ungkapan syukuran
atau terima kasih kepada Tuhan YME yang telah mengkaruniakan seorang anak yang
telah lahir dengan selamat. Upacara cukuran dilaksanakan pada saat bayi berumur
40 hari.
Pada
pelaksanaannya bayi dibaringkan di tengah-tengah para undangan disertai
perlengkapan bokor yang diisi air kembang 7 rupa dan gunting yang digantungi
perhiasan emas berupa kalung, cincin atau gelang untuk mencukur rambut bayi.
Pada saat itu mulailah para undangan berdo’a dan berjanji atau disebut marhaban
atau pupujian, yaitu memuji sifat-sifat nabi Muhammad saw. dan membacakan doa
yang mempunyai makna selamat lahir bathin dunia akhirat. Pada saat marhabaan
itulah rambut bayi digunting sedikit oleh beberapa orang yang berdoa pada saat
itu.
7.
Upacara Turun Taneuh
Upacara
Turun Taneuh ialah upacara pertama kali bayi menjejakkan kakinya ke tanah,
diselenggarakan setelah bayi itu agak besar, setelah dapat merangkak atau
melangkah sedikit-sedikit. Upacara ini dimaksudkan agar si anak mengetahui
keduniawian dan untuk mengetahui akan menjadi apakah anak itu kelak, apakah
akan menjadi petani, pedagang, atau akan menjadi orang yang berpangkat.
Perlengkapan yang disediakan harus lebih lengkap dari upacara Nurunkeun, selain
aneka makanan juga disediakan kain panjang untuk menggendong, tikar atau taplak
putih, padi segenggam, perhiasan emas (kalung, gelang, cincin), uang yang
terdiri dari uang lembaran ratusan, rebuan, dan puluh ribuan. Jalannya upacara,
apabila para undangan telah berkumpul diadakan doa selamat, setelah itu bayi
digendong dan dibawa ke luar rumah.
Di
halaman rumah telah dipersiapkan aneka makanan, perhiasan dan uang yang
disimpan di atas kain putih, selanjutnya kaki si anak diinjakan pada padi/
makanan, emas, dan uang, hal ini dimaksudkan agar si anak kelak pintar mencari
nafkah. Kemudian anak itu dilepaskan di atas barang-barang tadi dan dibiarkan
merangkak sendiri, para undangan memperhatikan barang apa yang pertama kali dipegangnya.
Jika anak itu memegang padi, hal itu menandakan anak itu kelak menjadi petani.
Jika yang dipegang itu uang, menandakan anak itu kelak menjadi
saudagar/pengusaha. Demikian pula apabila yang dipegangnya emas, menandakan
anak itu kelak akan menjadi orang yang berpangkat atau mempunyai kedudukan yang
terhormat.
C.
Upacara
Masa Kanak-kanak
1.
Upacara Gusaran
Gusaran
adalah meratakan gigi anak perempuan dengan alat khusus. Maksud upacara
Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih cantik lagi.
Gusaran ialah agar gigi anak perempuan itu rata dan terutama agar nampak bertambah cantik. Upacara Gusaran dilaksanakan apabila anak perempuan sudah berusia tujuh tahun. Jalannya upacara, anak perempuan setelah didandani duduk di antara para undangan, selanjutnya membacakan doa dan solawat kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Indung beurang melaksanakan gusaran terhadap anak perempuan itu, setelah selesai lalu dibawa ke tangga rumah untuk disawer (dinasihati melalui syair lagu). Selesai disawer, kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Biasanya dalam upacara Gusaran juga dilaksanakan tindikan, yaitu melubangi daun telinga untuk memasang anting-anting, agar kelihatannya lebih cantik lagi.
2.
Upacara Sepitan/Sunatan
Upacara
sunatan/khitanan dilakukan dengan maksud agar alat vitalnya bersih dari najis .
Anak yang telah menjalani upacara sunatan dianggap telah melaksanakan salah
satu syarat utama sebagai umat Islam. Upacara Sepitan anak perempuan
diselenggarakan pada waktu anak itu masih kecil atau masih bayi, supaya tidak
malu. Upacara sunatan diselenggarakan biasanya jika anak laki-laki menginjak
usia 6 tahun. Dalam upacara sunatan selain paraji sunat, juga diundang para
tetangga, handai tolan dan kerabat.
Pada
pelaksanaannya pagi-pagi sekali anak yang akan disunat dimandikan atau direndam
di kolam sampai menggigil (kini hal semacam itu jarang dilakukan lagi berhubung
teknologi kesehatan sudah berkembang), kemudian dipangku dibawa ke halaman
rumah untuk disunat oleh paraji sunat (bengkong), banyak orang yang menyaksikan
diantaranya ada yang memegang ayam jantan untuk disembelih, ada yang memegang
petasan dan macam-macam tetabuhan sambil menyanyikan marhaba. Bersamaan dengan
anak itu disunati, ayam jantan disembelih sebagai bela, petasan disulut, dan
tetabuhan dibunyikan . Kemudian anak yang telah disunat dibawa ke dalam rumah
untuk diobati oleh paraji sunat. Tidak lama setelah itu para undangan pun
berdatangan, baik yang dekat maupun yang jauh. Mereka memberikan uang/ nyecep
kepada anak yang disunat itu agar bergembira dan dapat melupakan rasa sakitnya.
Pada acara ini adapula yang menyelenggarakan hiburan seperti wayang golek,
sisingaan atau aneka tarian.
D.
Upacara
Adat Perkawinan
Secara kronologis upacara adat
perkawinan dapat diurut mulai dari adat sebelum akad nikah, saat akad nikah dan
sesudah akad nikah
1.
Upacara sebelum akad
nikah, pada upacara ini biasanya dilaksanakan adat :
ü Neundeun Omong
: yaitu kunjungan orang tua jejaka kepada orang tua si gadis untuk
bersilaturahmi dan menyimpan pesan bahwa kelak anak gadisnya akan dilamar.
ü Ngalamar
: nanyaan atau nyeureuhan yaitu kunjungan orang tua jejaka untuk
meminang/melamar si gadis, dalam kunjungan tersebut dibahas pula mengenai
rencana waktu penikahannya. Sebagai acara penutup dalam ngalamar ini si pelamar
memberikan uang sekedarnya kepada orang tua si gadis sebagai panyangcang atau pengikat,
kadang-kadang dilengkapi pula dengan sirih pinang selengkapnya disertai kue-kue
& buah-buahan. Mulai saat itu si gadis telah terikat dan disebut orang
bertunangan.
ü Seserahan
: yaitu menyerahkan si jejaka calon pengantin pria kepada calon mertuanya untuk
dikawinkan kepada si gadis. Pada acara ini biasa dihadiri oleh para kerabat
terdekat, di samping menyerahkan calon pengantin pria juga barang-barang berupa
uang, pakaian, perhiasan, kosmetik dan perlengkapan wanita, dalam hal ini
tergantung pula pada kemampuan pihak calon pengantin pria. Upacara ini
dilakukan 1 atau 2 hari sebelum hari perkawinan atau adapula yang melaksanakan
pada hari perkawinan sebelum akad nikah dimulai.
ü Ngeuyeuk
Seureuh : artinya mengerjakan dan
mengatur sirih serta mengait-ngaitkannya. Upacara ini dilakukan sehari sebelum
hari perkawinan, yang menghadiri upacara ini adalah kedua calon pengantin,
orang tua calon pengantin dan para undangan yang telah dewasa. Upacara dipimpin
oleh seorang pengetua, benda perlengkapan untuk upacara ini seperti sirih
beranting, setandan buah pinang, mayang pinang, tembakau, kasang jinem/kain,
elekan, dll semuanya mengandung makna/perlambang dalam kehidupan berumah
tangga. Upacara ngeuyeuk seureuh dimaksudkan untuk menasihati kedua calon
mempelai tentang pandangan hidup dan cara menjalankan kehidupan berumah tangga
berdasarkan etika dan agama, agar bahagia dan selamat. Upacara pokok dalam adat
perkawinan adalah ijab kabul atau akad nikah .
ü
2.
Upacara Adat Akad Nikah
Upacara
perkawinan dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan dalam agama Islam dan adat. Ketentuan tersebut adalah: adanya
keinginan dari kedua calon mempelai tanpa paksaan, harus ada wali nikah yaitu
ayah calon mempelai perempuan atau wakilnya yang sah, ada ijab kabul, ada saksi
dan ada mas kawin. Yang memimpin pelaksanaan akad nikah adalah seorang Penghulu
atau Naib, yaitu pejabat Kantor Urusan Agama.
Upacara
akad nikah biasa dilaksanakan di Mesjid atau di rumah mempelai wanita. Adapun
pelaksanaannya adalah kedua mempelai duduk bersanding diapit oleh orang tua
kedua mempelai, mereka duduk berhadapan dengan penghulu yang di kanan kirinya
didampingi oleh 2 orang saksi dan para undangan duduk berkeliling. Yang
mengawinkan harus wali dari mempelai perempuan atau mewakilkan kepada penghulu.
Kalimat menikahkan dari penghulu disebut ijab, sedang sambutan dari mempelai
pria disebut qobul (kabul). Setelah dilakukan ijab-qobul dengan baik
selanjutnya mempelai pria membacakan talek, yang bermakna ‘janji’ dan menandatangani
surat nikah. Upacara diakhiri dengan penyerahan mas kawin dari mempelai pria
kepada mempelai wanita.
3.
Upacara Adat sesudah
akad nikah
ü Munjungan/sungkeman
: yaitu kedua mempelai sungkem kepada kedua orang tua mempelai untuk memohon
do’a restu.
ü Upacara Sawer (Nyawer)
: perlengkapan yang diperlukan adalah sebuah bokor yang berisi beras kuning,
uang kecil (receh) /logam, bunga, dua buah tektek (lipatan sirih yang berisi
ramuan untuk menyirih), dan permen. Pada pelaksanaannya kedua mempelai duduk di
halaman rumah di bawah cucuran atap (panyaweran), upacara dipimpin oleh juru
sawer. Juru sawer menaburkan isi bokor tadi kepada kedua pengantin dan para
undangan sebagai selingan dari syair yang dinyanyikan olehnya sendiri. Adapun
makna dari upacara nyawer tersurat dalam syair yang ditembangkan juru sawer,
intinya adalah memberikan nasehat kepada kedua mempelai agar saling
mengasihani, dan mendo’akan agar kedua mempelai mendapatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan dalam membina rumah tangganya, hidup rukun sampai diakhir hayatnya.
ü
Upacara
Nincak Endog : atau upacara injak telur yaitu
setelah upacara nyawer kedua mempelai mendekati tangga rumah , di sana telah
tersedia perlengkapan seperti sebuah ajug/lilin, seikat harupat (sagar enau)
berisikan 7 batang, sebuah tunjangan atau barera (alat tenun tradisiona l)
yang diikat kain tenun poleng, sebuah elekan, sebutir telur ayam mentah, sebuah
kendi berisi air, dan batu pipisan, semua perlengkapan ini mempunyai
perlambang. Dalam pelaksanaannya lilin dinyalakan, mempelai wanita membakar
ujung harupat selanjutnya dibuang, lalu mempelai pria menginjak telur, setelah
itu kakinya ditaruh di atas batu pipisan untuk dibasuh air kendi oleh mempelai
wanita dan kendinya langsung dihempaskan ke tanah hingga hancur. Makna dari
upacara ini adalah menggambarkan pengabdian seorang istri kepada suaminya.
ü Upacara Buka Pintu
: upacara ini dilaksanakan setelah upacara nincak endog, mempelai wanita masuk
ke dalam rumah sedangkan mempelai pria menunggu di luar, hal ini menunjukan
bahwa mempelai wanita belum mau membukakan pintu sebelum mempelai pria
kedengaran mengucapkan sahadat. Maksud upacara ini untuk meyakinkan
kebenarannya beragama Islam. Setelah membacakan sahadat pintu dibuka dan
mempelai pria dipersilakan masuk. Tanya jawab antara keduanya dilakukan dengan
nyanyian (tembang) yang dilakukan oleh juru tembang.
ü Upacara
Huap Lingkung : Kedua mempelai duduk bersanding, yang
wanita di sebelah kiri pria, di depan mempelai telah tersedia adep-adep yaitu
nasi kuning dan bakakak ayam (panggang ayam yang bagian dadanya dibelah dua).
Mula-mula bakakak ayam dipegang kedua mempelai lalu saling tarik menarik hingga
menjadi dua. Siapa yang mendapatkan bagian terbesar dialah yang
akan memperoleh rejeki besar diantara keduanya. Setelah itu kedua mempelai huap
lingkung , saling menyuapi. Upacara ini dimaksudkan agar kedua mempelai harus
saling memberi tanpa batas, dengan tulus dan ikhlas sepenuh hati. Sehabis
upacara huap lingkung kedua mempelai dipersilakan duduk di pelaminan diapit
oleh kedua orang tua mempelai untuk menerima ucapan selamat dari para undangan
(acara resepsi).
E.
Upacara
Adat Kematian
Pada garis besarnya rangkaian upacara
adat kematian dapat digambarkan sebagai berikut: memandikan mayat, mengkafani
mayat, menyolatkan mayat, menguburkan mayat, menyusur tanah dan tahlilan, yaitu
pembacaan do’a dan zikir kepada Allah swt. agar arwah orang yang baru meninggal
dunia itu diampuni segala dosanya dan diterima amal ibadahnya, juga mendo’kan
agar keluarga yang ditinggalkannya tetap tabah dan beriman dalam menghadapi
cobaan.
Tahlilan dilaksanakan di rumahnya,
biasanya sore/malam hari pada hari pertama wafatnya (poena), tiluna (tiga
harinya), tujuhna (tujuh harinya), matangpuluh (empat puluh harinya), natus
(seratus hari), mendak taun (satu tahunnya), dan newu (seribu harinya).
F.
Upacara
Adat Bertani
1. Upacara
Adat Seren Taun
Upacara Seren Taun yaitu upacara adat
yang intinya mengangkut padi (ngakut pare) dari sawah ke leuit (lumbung padi)
dengan menggunakan pikulan khusus yang disebut rengkong dengan diiringi tabuhan
musik tradisional. Selanjutnya di adakan riungan (pertemuan) antara sesepuh
adat/pemuka masyarakat dengan pejabat pemerintah setempat. Dalam riungan
tersebut antara lain. Disampaikan kabar gembira kepada pejabat setempat
mengenai keberhasilan panen (hasil tani) dan kesejahteraan masyarakat yang
dicapai dalam kurun waktu yang telah dilalui. Salah satu ciri khas upacara
seren taun adalah melalukan seba, yaitu menyampaikan aneka macam hasil panen
kepada pejabat setempat agar ikut menikmati hasil tani mereka.
Salah satu tujuan upacara seren taun ini
adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas keberhasilannya bertani serta
mengharapkan pada masa mendatang akan lebih berhasil lagi. Upacara seren taun
dapat dijumpai di Kasepuhan Sirnarasa Cisolok-Sukabumi Selatan, Cigugur
Kuningan dan Baduy-Lebak/Banten.
2. Upacara
Adat Kawin Tebu
Upacara tradisional Kawin Tebu
dilaksanakan seperti upacara perkawinan manusia, yang mana satu batang tebu
dikawinkan dengan tebu yang lainnya dengan suatu prosesi upacara. Upacara ini
dilaksanakan setelah panen menjelang tebu dimasukan ke pabrik untuk diproses
menjadi gula, atau awal musim tanam tebu. Menjelang diadakan perkawinan tebu
ditampilkan berbagai atraksi kesenian yang diikuti oleh masyarakat setempat,
terutama oleh para pekerja pabrik gula dan keluarganya. Upacara ini sebagai
ungkapan rasa syukur atas hasil tanam yang dicapai serta memohon kepada tuhan
YME. agar hasil tanam yang akan datang lebih baik lagi. Upacara ini terdapat di
daerah Kadipaten, Kabupaten Majalengka.
3. Upacara
Adat Ampih Pare
Upacara Ampih Pare adalah upacara
menyimpan hasil panen padi dari sawah/ladang ke tempat penyimpanan padi (pare)
yang disebut leuit. Pada pelaksanaannya para petani dengan memakai pakaian adat
yang khas, memikul hasil panennya dengan menggunakan alat pikul yang disebut
“rengkong”. Selama perjalanan alat pikul tersebut menimbulkan bunyi yang khas,
upacara ampih pare merupakan suatu prosesi pertunjukan kesenian yang khas.
Terdapat di Kabupaten Sumedang, Cianjur, Karawang dan Subang.
4. Upacara
Adat Ngarot
5. Upacara
Adat Sedekah Bumi
Upacara ini dilaksanakan sebagai
ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang diterima oleh masyarakat berhasil
baik. Upacara tradisi seperti ini terdapat di Cirebon, pelaksanaan upacara ini
di Makam Sunan Gunung Jati yang dipimpin oleh Ki Penghulu. Setelah upacara ini
selesai, biasanya di Alun-alun diselenggarakan berbagai kesenian, sebagai acara
puncaknya pergelaran Wayang Orang.
6. Upacara
Adat Pesta Laut
Di dalam upacara tersebut perahu-perahu
nelayan dihiasi dengan berbagai ornamen berwarna-warni yang dinaiki oleh para
nelayan dan dilengkapi sesajen. Yang unik dalam upacara ini adalah para nelayan
menghadiahkan kepala kerbau yang sudah dibungkus kain putih kepada penguasa
laut sebagai penolak bala. Perahu yang membawa sesajen dan kepala kerbau berada
di posisi paling depan dan diikuti perahu-perahu lainnya yang ditumpangi para
nelayan dan keluarganya serta masyarakat setempat. Perahu melaju ke tengah laut
mereka bersorak- ria sambil memainkan alat musik serta menyanyikan lagu-lagu
pujian terhadap Tuhan pencipta alam semesta, mereka menikmati upacara tersebut.
Sebelum kepala kerbau dihanyutkan di tengah laut, mereka berdo’a bersama untuk
keselamatan. Pesta laut diadakan setahun sekali.
G.
Upacara
Adat Keagamaan
1.
Upacara Ngirab/Rebo
Wekasan
Upacara
ini ditandai dengan berziarahnya masyarakat setempat ke makam Sunan Kalijaga,
yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar, karena waktu
tersebut dianggap hari yang paling baik untuk menghilangkan bencana dan
kemalangan dalam hidup manusia. Setelah upacara selesai, dilanjutkan dengan
berbagai pertandingan seperti lomba mendayung dan sebagainya. Upacara ini biasa
dilaksanakan di sungai Drajat, Kota Cirebon.
2.
Upacara Maulud Nabi Muhammad
Saw
Upacara
ini adalah merupakan upacara keagamaan. Maulud Nabi Muhammad SAW adalah
peringatan hari lahirnya Nabi Besar Muhammad SAW dimana sejumlah masyarakat
berkumpul berdatangan dari berbagai daerah di luar Kota Cirebon untuk mengikuti
upacara tersebut. Setelah selesai upacara dilanjutkan dengan ziarah ke makam
para wali dan kramat-kramat lainnya, baik dari masyarakat Cirebon maupun
masyarakat dari luar daerah. Di tiap daerah pun diadakan peringatan Maulud Nabi
Muhammad Saw, dengan cara pengajian dan pembacaan solawat kepada Nabi Muhammad
Saw disertai ceramah keagamaan.
3.
Upacara Adat Nyalawean
Upacara
Nyalawean merupakan upacara keagamaan untuk memperingati hari lahirnya Nabi
besar Muhammad SAW yang diselenggarakan di alun-alun desa Trusmi , Kabupaten
Cirebon selama 5 hari. Upacara ini dilaksanakan 12 hari setelah peringatan yang
sama di keraton Cirebon. Selain dilaksanakannya upacara keagamaan, juga
mengadakan ziarah ke makam para leluhur orang Trusmi agar memperoleh rahmat,
kesejahteraan serta kebahagiaan.
4.
Upacara Peringatan Isro
Mi’raj
Di
setiap daerah di Jawa Barat khususnya bagi umat Islam, setiap tanggal 27 bulan
Rajab biasa dilakukan peringatan Isro Mi’raj. Isro yaitu hijrahnya Nabi
Muhammad dari masjidil Haram Mekah ke mesjidil Aqso. Sedangkan Mi’raj adalah
peristiwa naiknya Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dan diberikannya wahyu untuk
melaksanakan sholat 5 waktu sehari. Pada pelaksanaan peringatan Isra Miraj
biasa diadakan pengajian, pembacaan solawat dan ceramah keagamaan. Hal ini
dimaksudkan agar manusia dalam menjalankan hidupnya harudisertai dengan
peningkatan ibadah terhadap Allah SWT. Seusai kegiatan tersebut biasa diadakan
makan nasi tumpeng bersama.
5.
Upacara Lebaran 1
Syawal
Setelah
puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, pada tanggal 1 Syawal merupakan hari
raya Idul fitri atau hari lebaran, yaitu hari dimana umat Islam merayakan hari
yang penuh kesucian dan kebebasan, bebas dari puasa dan bebas dari dosa. Pagi
hari setelah solat subuh, umat Islam yang merayakan Lebaran solat berjamaah di
lapangan atau di mesjid, mendengarkan ceramah dan berdo’a. Setelah itu
bersalaman saling memaafkan. Begitu pula sesampainya di rumah diadakan upacara
sungkeman, orang tua duduk berdampingan, anak-anaknya sungkem bersalaman saling
memaafkan antara anggota keluarga. Setelah itu makan bersama yaitu makan khas
Lebaran “ketupat” beserta lauk-pauk dan makanan lainnya khas lebaran.
Selanjutnya mereka dengan baju barunya pergi ke tetangga dan kerabat untuk
bersilaturahmi saling memaafkan sambil membawa makanan atau hadiah lainnya. Ada
juga yang berziarah terlebih dahulu ke makam keluarga untuk mendo’akan para
arwah. Masyarakat Sunda umumnya melaksanakan lebaran ini dengan penuh hikmah
dan semangat.
SUMBER
0 comments:
Post a Comment